Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), eksplorasi adalah kegiatan penyelidikan geologi untuk mengidentifikasi endapan bahan galian agar dapat dilakukan analisis kemungkinan dilakukan penambangan.
Pada tahap ini akan dilakukan pemetaan wilayah, survei geofisika, pengambilan contoh geofisika (tanah, batuan, dan endapan sungai), serta perencanaan penambangan.
Asal tahu saja, biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi sangatlah besar. Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) pada April 2019 menyebutkan dana yang dihabiskan pada tahap ini mencapai puluhan juta dollar AS.
Namun, tingginya ongkos tersebut bukanlah jaminan keberhasilan eksplorasi. Sebab kegiatan ini punya risiko kegagalan tinggi dengan tingkat keberhasilannya hanya 3–5 persen.
Makanya, tak jarang setelah dilakukan eksplorasi, cadangan mineral yang ditemukan tidaklah ekonomis. Sementara itu, bila berhasil butuh waktu yang cukup lama sekitar 10 tahun untuk bisa masuk ke tahap produksi atau permurnian.
Di sini baru akan dimulai pengeboran, peledakan, dan penggalian pada lokasi yang sudah dipetakan sebagai daerah bahan tambang. Setelah itu, baru dilakukan pengangkutan bijih mineral.
Aktivitas yang terjadi pada tahap ini adalah penghancuran dan penggerusan bijih hasil penambangan hingga menjadi pasir halus. Sebagai contoh pengolahan tembaga di PT Freeport Indonesia (PTFI).
Di sana pasir-pasir tersebut kemudian diapungkan dengan menggunakan reagent (bahan yang berbasis alkohol dan kapur). Tujuannya supaya dapat memisahkan konsentrat yang mengandung mineral, tembaga, emas, dan perak.
Konsentrat dalam bentuk bubur kemudian disalurkan dari pabrik pengolahan menuju pabrik pengeringan. Setelah dikeringkan, konsentrat yang merupakan produk akhir PTFI ini kemudian dikirim ke pabrik peleburan dan pemurnian di dalam maupun luar negeri.
Di dalam negeri, konsentrat tembaga PTFI dikirim ke PT Smelting Gresik yang merupakan smelter tembaga pertama dan satu-satunya di Indonesia. Kapasitasnya pun dapat menampung 40-50 persen produksi tembaga PTFI.