Menghadapi ancaman perubahan iklim, negara-negara dunia, termasuk Indonesia, telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi emisi GRK dan meningkatkan resiliensi terhadap dampak perubahan iklim.
Indonesia menjadi negara aktif yang berpartisipasi dalam perjanjian internasional untuk mengatasi perubahan iklim, seperti Perjanjian Paris dan Perjanjian Glasgow. Indonesia juga telah menetapkan target penurunan emisi GRK sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Target ini meliputi lima sektor utama, yaitu energi, pengelolaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF), pertanian, dan limbah.
Untuk mencapai target tersebut, Indonesia telah menyusun dan menerbitkan berbagai rencana aksi, strategi, dan kebijakan di tingkat nasional, antara lain:
Selain itu, Indonesia juga telah menyatakan komitmennya untuk mencapai carbon neutrality atau netralitas karbon pada 2060 atau lebih cepat.
Carbon neutrality adalah kondisi di mana emisi GRK yang dihasilkan oleh suatu negara sama dengan jumlah GRK yang diserap oleh sumur karbon alami atau buatan di negara tersebut.
Untuk mencapai carbon neutrality, Indonesia harus melakukan dekarbonisasi atau pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan sumber-sumber emisi GRK lainnya. Dekarbonisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
Sebanyak 196 negara membuat kesepakatan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global menjadi jauh di bawah 2 derajat Celsius dari tingkat pra-industri. Bahkan, jika memungkinkan di bawah 1,5 Celcius.
Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap negara harus menyampaikan kontribusi dalam bentuk Nationally Determined Contribution (NDC).
Perjanjian Glasgow merupakan perjanjian iklim paling ambisius dan mendesak yang pernah ada. Perjanjian ini menunjukkan komitmen politik yang kuat dari para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan nyata dalam mengatasi krisis iklim.
Perjanjian Glasgow menetapkan sejumlah kesepakatan penting, antara lain: