Selain Toyota Eco Youth,
Toyota Indonesia juga melakukan
sederet upaya untuk mendukung
Pemerintah Indonesia dalam
mewujudkan netralitas karbon.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dan Toyota Global, Toyota Indonesia menerapkan Toyota Environmental Challenge 2050 yang berfokus pada penurunan emisi karbon dan harmonisasi dengan alam.
Toyota mendukung inisiatif global untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon. Bisnis yang dilakukan pun sudah sejalan dengan visi SDGS.
Siapa saja bisa berkontribusi dalam
penurunan emisi karbon.
Pelaksanaan upacara Yadnya Kasada di Bali kerap menyisakan banyak sampah yang berserakan begitu saja.
Kondisi ini menggerakkan dua siswa SMAN 6 Denpasar, yakni Made Bagus Wisnu Wisnawa dan I Wayan Narayana Putra, untuk mencari solusi atas masalah tersebut.
Solusinya tak muluk-muluk, mereka ingin limbah-limbah itu bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Wisnu dan Narayana pun mulai bereksperimen. Mereka menggunakan berbagai macam bahan limbah upacara Yadnya Kasada, seperti janur, daun enau, daun pisang, dan daun pandan.
Setelah melewati beberapa kali percobaan, mereka akhirnya berhasil menemukan formula yang tepat untuk membuat genting berbahan biokomposit.
Genting tersebut memiliki beberapa kelebihan ketimbang genting konvensional. Salah satunya adalah bobotnya lebih ringan, yaitu hanya 200 gram per buah. Sementara, genting tanah liat beratnya hampir 500 gram.
Genting itu juga lebih tahan air dengan daya serap hanya 20 persen. Sementara, genting konvensional daya serapnya hampir mencapai 100 persen.
Prestasi Wisnu dan Narayana tersebut patut diapresiasi. Mereka telah menunjukkan bahwa limbah upacara Yadnya Kasada dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Selain itu, mereka juga telah menginspirasi generasi muda untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan limbah.
Sumber logo: wikipedia.org
Pada 2015, dua siswa SMAN 1 Blora, Jawa Tengah, Fadhiela dan Dinar, membuat inovasi alat penangkap serangga bertenaga kincir angin sumbu vertikal dan solar cell. Alat ini dirancang untuk membantu para petani setempat dalam mengurangi hama serangga yang menyerang tanaman pertanian.
Fadhiela dan Dinar menggunakan kincir angin sumbu vertikal karena lebih peka terhadap embusan angin kecil, seperti yang sering terjadi di Blora. Kincir angin ini juga dilengkapi dengan solar cell untuk menyimpan tenaga surya.
Energi dari kincir angin dan solar cell kemudian digunakan untuk menyalakan lampu perangkap serangga. Lampu dengan warna berbeda akan menarik perhatian serangga untuk masuk ke perangkap yang telah diberi minyak kelapa.
Sumber logo: sma1blora.sch.id
Sebagian warga Kalimantan Selatan masih bergantung pada air rawa gambut untuk memenuhi keperluan rumah tangga, termasuk untuk dikonsumsi. Padahal, air tersebut memiliki tingkat keasaman tinggi dengan warna kekuningan dan berbau, serta berbahaya bagi kesehatan.
Melihat kondisi itu, dua siswi SMA Negeri 6 Banjarmasin, Eni Lufina dan Ribka Yuliana, tergerak untuk membuat alat yang dapat menetralkan air asam rawa gambut menjadi air layak konsumsi.
Berbekal berbagai literatur yang telah dipelajari, mereka pun mulai melakukan penelitian dengan menggunakan bahan-bahan sederhana, yaitu galon air, ijuk enau, arang, kapur, abu gosok, pasir, dan air asam dari Sungai Martapura dan kawasan gambut di Marabahan, Barito Kuala.
Selama satu minggu meneliti, akhirnya Eni dan Ribka berhasil menciptakan alat penetral air asam yang sederhana tapi efektif. Alat ini bekerja dengan cara menyaring air asam melalui beberapa lapisan filter yang terdiri ijuk enau, pasir, abu gosok, arang alaban, dan kapur pertanian.
Proses tersebut dapat menurunkan pH air asam dari 3,5 menjadi 7,9 yang merupakan syarat air murni.
Penelitian Eni dan Ribka tersebut telah membantu masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Bahkan, alat penetral air asam buatan mereka telah diadaptasi dan digunakan oleh masyarakat di daerah lain, seperti Riau.
Jalan Dago Pojok, Kota Bandung, hampir tak pernah sepi. Apalagi, saat pagi, jalur tersebut selalu sesak dijejali banyak kendaraan bermotor, termasuk sepeda motor. Pengendaranya pun tidak hanya individu dewasa, tapi juga para remaja sekolah, termasuk siswa-siswi SMAN 19 Bandung.
Kondisi itu menggerakkan dua siswa sekolah tersebut, yakni Nirwan dan Farizd Abdullah Labaik Rachmat. Mereka bertekad mencari solusi untuk mengurangi kemacetan di jalan sekitar sekolah.
Nirwan sendiri bertempat tinggal 300 meter dari SMAN 19 Bandung. Ia sebenarnya kerap bersepeda motor ke sekolah. Namun, kepadatan arus membuatnya menghabiskan waktu lebih lama di jalan. Padahal, jika jalanan lancar, perjalanan hanya menghabiskan waktu dua menit.
Di satu sisi, Nirwan juga prihatin terhadap teman-temannya yang berjalan kaki ke sekolah lantaran tidak punya kendaraan bermotor.
Atas dasar itu, ia dan Farizd menggagas program "Babarengan 19". Pelaksanaan program ini pun sederhana, yaitu siswa bermotor diizinkan masuk gerbang sekolah jika memiliki surat izin mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang teman. Dengan begitu, dua masalah bisa tertangani sekaligus.
Program itu mendapat dukungan dari pihak sekolah. Sebuah halte turut dibangun di jalan utama sebagai tempat menunggu bagi siswa yang ingin mencari tumpangan.
Setelah enam bulan diberlakukan, program ini mulai menunjukkan hasil positif. Jumlah kendaraan bermotor di sekolah berkurang, lahan parkir menjadi lebih lengang, dan kondisi macet di sekitar sekolah berangsur-angsur menurun.
Selain itu, program ini juga meningkatkan interaksi antarsiswa. Siswa yang tadinya saling acuh tak acuh, kini mulai saling bertegur sapa.
Sumber logo: sman19bandung.sch.id
Lingkungan yang memburuk dapat memengaruhi kehidupan manusia. Padahal, kondisi ini tak lepas dari ulah manusia sendiri.
Bencana banjir yang melanda kota-kota besar di Indonesia merupakan salah satu contoh permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia. Sampah yang dibuang ke aliran sungai dan pembangunan gedung tanpa menghiraukan kawasan hijau juga menjadi penyebab bencana tersebut, khususnya ketika hujan deras melanda.
Melihat fakta tersebut, jelas manusia bertanggung jawab penuh pada kelestarian lingkungan. Pemberian edukasi terkait lingkungan otomatis harus terus digalakkan. Inilah yang mendorong dua murid SMAN 5 Surabaya, Salsabila Nadhifa dan Alya Thallafadhila, mengembangkan Cyber Nature.
Ide awal Cyber Nature adalah untuk membuat anak muda lebih peduli terhadap lingkungan melalui tontonan video yang mengedukasi. Contohnya, seperti kanal TED Talks Education di Youtube yang merupakan tontonan favorit Salsa.
Karena itu, Cyber Nature sengaja dibuat dengan gaya anak muda supaya bisa menyentuh teman-temannya yang skeptis terhadap masalah lingkungan.
Namun, setelah melalui berbagai konsultasi dan percobaan, Cyber Nature menggurita menjadi empat pilar yang mencakup kegiatan di dunia maya dan nyata. Mereka akhirnya memutuskan mengganti nama menjadi Cyber Nature Network.
Selain menyosialisasikan ide dengan video animasi mengenai lingkungan hidup melalui kanal YouTube "Cyber Nature 15", Salsabila dan Alya mulai mengembangkan empat kegiatan lain.
Pertama, Cyber Nature Action yang berfokus untuk membenahi hal-hal kecil di SMAN 5 Surabaya yang meliputi isu air, listrik, dan kompos.
Kedua, Cyber Nature Project berupa pembuatan video.
Ketiga, Cyber Nature Live berupa penyelenggaraan kegiatan di hari-hari besar. Keempat, Cyber Nature Techno-EcoPreneur (TEP). Ide pilar ini muncul dari sampah-sampah yang dikumpulkan saat kegiatan.
Keempat, Cyber Nature Techno-EcoPreneur (TEP). Ide pilar ini muncul dari sampah-sampah yang dikumpulkan saat kegiatan.
Sumber logo: wikipedia.org
Dua siswa SMK PGRI Telagasari, Karawang, Jawa Barat, Taupik Jamaludin dan Alan Maulana, berhasil mengalahkan total 2.534 proposal yang masuk ke panitia Toyota Eco Youth ke-10.
Proposal berjudul "Generator Electrical Circulatory System 750 Watt" itu membahas tentang pemadaman listrik yang sering terjadi di sekolah itu. Padahal, daerah Telagasari sudah teraliri listrik dan 90 persen masyarakatnya yang sudah menikmati fasilitas tersebut.
Pihak sekolah sempat mencoba mengatasi masalah itu dengan menggunakan genset sebagai pengganti sumber listrik PLN. Namun, bukan solusi yang didapat, alat tersebut malah menimbulkan polusi udara yang mengganggu pernafasan dan polusi suara.
Akhirnya, ide Pembangkit Listrik Tanpa BBM (Electrical Circulatory System) lahir untuk menggantikan generator lantaran memiliki keunggulan tersendiri. Sebut saja, tidak memerlukan BBM untuk mengoperasikannya, tidak menimbulkan suara bising, serta sistem perawatan dan pengoprasian yang terbilang mudah.
Sistem kerja dari generator tersebut adalah dengan menggunakan pola sirkulasi yang menghasilkan energi untuk penerangan sekaligus memberikan energi kembali untuk alat itu sendiri.
Atas inovasinya, Taupik dan Alan tidak hanya keluar sebagai juara kedua Toyota Eco Youth ke-10, tapi juga diajak Toyota Indonesia untuk mengikuti Eco Education Trip ke Jepang.
Selama di Negeri Sakura, mereka berkesempatan mengunjungi berbagai tempat wisata dan kebudayaan setempat, serta mempelajari lebih lanjut tentang lingkungan dan teknologi otomotif Toyota.
Sumber logo: smkpgritelagasari1.sch.id
Dua siswi SMAN 34 Jakarta, Aloysia Elva dan Reihana Zahra, berhasil menciptakan proyek Instalasi Pola Pena. Ini adalah sebuah alat yang dapat mengolah limbah organik , termasuk sampah dedaunan, dari dalam sekolah, serta peternakan di sekitar sekolah menjadi biogas atau metana.
Cara kerja alat itu adalah dengan memasukkan limbah organik dan sampah dedaunan ke dalam sebuah tangki yang dilengkapi dengan alat pengolah biogas. Seluruh warga sekolah turut berpartisipasi dalam pengumpulan limbah.
Di dalam tangki, limbah organik akan mengalami proses fermentasi anaerobik yang menghasilkan gas metana dan residu berupa pupuk organik.
Gas metana akan disimpan dalam tabung gas yang bisa digunakan sebagai bahan bakar. Sementara, residu berupa pupuk organik bisa digunakan untuk menyuburkan tanaman.
Proyek tersebut tidak hanya menyelesaikan masalah lingkungan di sekolah mereka, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi dengan menjual biogas ke pedagang-pedagang di kantin. Hal ini sejalan dengan tema "EcoSocioPreneur" yang diusung pada TEY ke-10, yaitu mengubah masalah lingkungan menjadi peluang bisnis.
Sumber logo: sman34jkt.sch.id
Elfira Miranda dan Theodore Isaac tidak pernah menyangka bahwa proyek sederhana yang dibuat bisa dilirik sampai tingkat nasional lewat ajang Toyota Eco Youth ke-10.
Kedua pelajar SMA Negeri 1 Koba, Bangkat Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, itu membuat Mini Teknologi Kelor (Mitelor), sebuah alat yang dapat menetralkan kandungan logam dalam air limbah tambang. Ide pembuatan Mitelor muncul ketika mereka melihat warga sekitar memanfaatkan air kolong untuk keperluan sehari-hari. Padahal, air tersebut mengandung logam berbahaya yang dapat membahayakan kesehatan. Elfira dan Theodore pun bertekad untuk mencari solusi untuk masalah tersebut.
Setelah melalui berbagai penelitian dan uji coba, mereka akhirnya berhasil mengembangkan Mitelor. Alat ini terbuat dari bahan-bahan sederhana dan murah, tetapi sangat efektif dalam menetralkan kandungan logam.
Keberhasilan Elfira dan Theodore terpilih sebagai finalis Toyota Eco Youth 10 merupakan sebuah kebanggaan bagi sekolah mereka. Mereka membuktikan bahwa pelajar dari daerah pelosok pun bisa meraih prestasi gemilang di tingkat nasional.
Sumber logo: youtube.com/smakoba
SMAN 1 Blora kembali menorehkan prestasi di Toyota Eco Youth. Lewat proyek berjudul "Sandal Organik dengan Alas dari Limbah Serpihan Kayu" gagasan dua siswinya, sekolah ini menyabet juara dua. Adapun Anggi Sabrina Putri dan Intan Aprilisa Ilhami merupakan penggagas proyek tersebut.
Blora dikenal sebagai salah satu pusat kerajinan mebel berbahan kayu. Di balik manfaat ekonomi yang dihasilkan, terdapat satu masalah yang berpotensi memberikan dampak buruk bagi lingkungan, yaitu limbah serbuk kayu.
Berangkat dari kegelisahan itu, Anggi dan Intan lantas mencari cara untuk mengubah limbah tersebut menjadi barang bernilai ekonomi, seperti alas sandal.
Pembuatannya pun mudah. Cukup mencampurkan serbuk kayu dengan lem lateks dan dimasukkan ke dalam cetakan sandal yang diinginkan.
Selain membantu mengurangi permasalahan limbah, inisiatif kedua pelajar tersebut juga memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat sekitar, khususnya para ibu rumah tangga.
Sumber logo: sma1blora.sch.id
Adinda Syahidah Putri Afandi dan Ahmad Mauludin Mubarok adalah dua siswa SMAN 19 Bandung yang memiliki tekad kuat untuk menyelamatkan lingkungan. Mereka berdua pun mengikuti ajang Toyota Eco Youth 10 dengan proyek sosial sederhana bernama Tumbler For Our Greenaration (Tumblerion) .
Lewat proyek itu, para siswa-siswi SMAN 19 Bandung diajak untuk membawa tumbler dan tempat makan sendiri guna membantu mengurangi jumlah sampah, terutama sampah plastik kemasan.
Awalnya, Adinda dan Ahmad tidak yakin bahwa proyek mereka akan lolos ke babak final. Namun, mereka tetap optimistis karena proyek tersebut memiliki dampak positif bagi lingkungan. Keduanya juga berharap, upaya serupa dapat diikuti oleh sekolah lain agar manfaatnya lebih terasa.
Selama tiga bulan diimplementasikan, program Tumblerion rupanya berhasil mengurangi jumlah sampah plastik di SMAN 19 Bandung secara signifikan. Para murid pun semakin sadar akan pentingnya menjaga lingkungan.
Adinda dan Ahmad adalah contoh nyata bahwa setiap orang dapat berperan dalam menyelamatkan lingkungan. Dengan tekad dan semangat yang kuat, kita dapat menciptakan perubahan yang positif bagi Bumi.
Sumber logo: sman19bandung.sch.id
Dua siswa MAN Model Banda Aceh, Furqan dan Cut Rayan Sempurna, berhasil menciptakan PokeBin, serangkaian tempat sampah kreatif yang dirancang untuk mengedukasi masyarakat tentang pemilahan sampah.
Bentuk PokeBin sendiri terinspirasi dari karakter Pokemon dan terdiri dari empat warna, yakni merah, kuning, hijau, dan hitam. Masing-masing mewakili jenis sampah tertentu.
Ide pembuatan PokeBin muncul dari keprihatinan Furqan dan Cut Rayan terhadap permasalahan sampah di Banda Aceh. Mereka melihat bahwa masyarakat masih belum terbiasa memilah sampah sehingga sampah organik dan non-organik tercampur begitu saja. Akibatnya, pengolahan sampah di daerah setempat tidak berjalan optimal.
PokeBin tidak hanya tentang memilah sampah, tapi juga tentang mengubah sampah menjadi produk yang memiliki nilai guna dan ekonomi. Sekolah-sekolah dapat menggunakan PokeBin untuk memilah sampah plastik yang kemudian diambil oleh pihak pendaur ulang dengan imbalan biaya retribusi. Dana ini dapat digunakan untuk keperluan siswa.
Proyek ini tidak hanya berhenti di MAN Model Banda Aceh, tapi juga diperluas ke lingkungan sekitar sekolah. Tujuannya, untuk mengubah perilaku pemilahan sampah menjadi kebiasaan yang akan dibawa oleh generasi muda Banda Aceh dalam mewujudkan kota bebas sampah di masa depan.
PokeBin juga kerap menggelar kontes di Instagram. Masyarakat diajak untuk mengirimkan foto saat membuang sampah ke dalam PokeBin. Inisiatif ini diharapkan akan menginspirasi lebih banyak orang untuk bergabung dalam gerakan pemilahan sampah yang lebih baik.
Sumber logo: manmodelbna.sch.id/
Para petani memerlukan pestisida untuk membasmi hama perusak tanaman. Sebab, pembasmian manual ternyata tidak cukup efektif dalam mengatasi dampak perkembangan hama yang signifikan.
Masalah semakin rumit karena banyak petani yang kurang memahami cara menggunakan pestisida kimia dengan benar. Hal ini tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga kesehatan mereka sendiri.
Di tengah tantangan tersebut, muncul inovasi dari dua siswa SMAN 5 Yogyakarta, Edgar Parrusa dan Enadra Natan. Mereka mengembangkan alat penyemprot elektrostatis bernama JOMA sprayer. Alat ini menggunakan ekstrak daun pepaya dan abu kayu sebagai pestisida alami. Keberhasilan mereka terfokus pada pengendalian ulat kubis, hama yang merugikan tanaman kubis. dapat bersama-sama menjaga keseimbangan lingkungan.
Edgar menjelaskan bahwa setelah delapan bulan penelitian, mereka berhasil menciptakan campuran pestisida yang efektif menggunakan ekstrak daun pepaya dan abu kayu.
Daun pepaya mengandung zat toksik untuk membunuh ulat kubis, sedangkan abu kayu dengan sifat basanya dapat membuat ulat dan siput menjauhi tanaman.
Pembuatan pestisida ini relatif sederhana, melibatkan campuran abu bakar kayu dengan ekstrak daun pepaya yang difermentasi selama beberapa hari. Kandungan kimia dalam daun pepaya, seperti papain, bersama dengan sifat basa abu kayu, membentuk pestisida alami yang efektif dan ramah lingkungan.
Hasilnya, pestisida ini tidak hanya mampu mencegah dan membasmi ulat kubis, tetapi juga efektif melawan berbagai jenis hama lainnya. Keberhasilan ini menjadikan pestisida JOMA sebagai alternatif ramah lingkungan. Mengingat, bahan tersebut mudah terurai dan tidak meninggalkan residu.
Selain pestisida, Edgar dan Enadra juga menciptakan alat penyemprot elektrostatis yang mereka beri nama Joma Electrostatic Sprayer. Alat ini menggunakan muatan negatif (elektron) untuk membuat pestisida, baik organik maupun kimia, menempel secara efisien pada tanaman yang bermuatan positif.
Analoginya seperti petir yang menyambar karena perbedaan muatan. Prinsip ini membuat penggunaan pestisida lebih efisien dan aman bagi petani lantaran mengurangi risiko terpapar pestisida. Dengan inovasi ini, diharapkan masyarakat dapat bersama-sama menjaga keseimbangan lingkungan.
Sumber logo: id.wikipedia.org
Kemacetan di persimpangan jalan merupakan masalah yang dihadapi oleh banyak kota di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti jumlah kendaraan yang meningkat, desain jalan yang tidak memadai, dan pengaturan lalu lintas yang tidak optimal.
Dua murid jurusan Mekatronika SMK Texar Karawang, Ricky Firdaus dan Adhi Prasetyo, memiliki ide menarik untuk mengatasi masalah tersebut.
Mereka membuat alat bernama "Alat Pengurai Kemacetan" yang dapat mengatur durasi lampu merah secara dinamis berdasarkan kondisi lalu lintas.
Cara kerja alat ini adalah dengan menggunakan sensor untuk mendeteksi kepadatan kendaraan di setiap arus lalu lintas. Jika arus tertentu padat, maka lampu merah di arus tersebut akan menyala lebih cepat. Sebaliknya, jika arus tertentu kosong, maka lampu merah di arus tersebut akan menyala lebih lama.
Alat ini telah diuji coba di salah satu persimpangan di Karawang dan hasilnya cukup memuaskan. Pihak Dinas Perhubungan (Dishub) menilai alat ini dapat bermanfaat untuk mengurangi kemacetan.
Sumber logo: smktexarkarawang.com
Pengelolaan sampah yang belum optimal, serta masih banyak sampah yang berserakan, dibakar, atau ditumpuk bakal menimbulkan masalah lingkungan, seperti pencemaran udara dan tanah.
Hal itu turut dialami oleh SMAN 19 Bandung sehingga para pelajarnya berinisiatif membuat proyek bertajuk Udunan Sampah.
Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar sekolah dalam mengelola sampah dengan baik.
Proyek tersebut menargetkan masyarakat sekitar sekolah, yaitu warga Dago Pojok RT 07 RW 05 Kelurahan Dago. Tujuannya adalah memberikan dampak positif dari sisi ecososiopreneur, yaitu masyarakat bisa memilih, memilah, dan memanfaatkan sampah yang dihasilkan.
Alur kerja proyek Udunan Sampah dimulai dari masyarakat mengumpulkan sampah yang telah dipisahkan menjadi organik dan anorganik. Sampah-sampah tersebut kemudian dikumpulkan di bank sampah, bisa secara individu atau melalui Ojek Sampah (Opah).
Setelah pengumpulan sampah, masyarakat membuat karya-karya dari sampah anorganik yang bernilai jual, seperti dompet dari kantong plastik dan kursi dari ecobrick. Hingga kini, proyek “Udunan Sampah” masih rutin dilakukan setiap bulan. Proyek ini telah memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar SMAN 19 Bandung. Masyarakat menjadi lebih sadar akan pentingnya pengelolaan sampah yang baik. Mereka juga menjadi lebih kreatif dalam memanfaatkan sampah yang dihasilkan.
Sumber logo: sman19bandung.sch.id
Di tengah maraknya permasalahan lingkungan, diperlukan upaya yang lebih serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menyampaikan pesan lewat film.
Hal itu pun dilakukan oleh dua siswa SMAN 2 Semarapura, Bali, Adinda Amelia dan Ni Komang Taris Suliastini. Mereka membuat film pendek berjudul Keranjang Bolong untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Film ini bercerita tentang seorang murid bernama I Gede Putra yang awalnya hanya peduli dengan jual-menjual. Namun, ia kemudian berubah menjadi anak yang peduli lingkungan setelah mengikuti lomba kebersihan sekolah.
Film ini dikemas dengan unsur komedi yang khas anak muda. Apalagi, tokoh I Gede Putra memiliki karakter yang unik dan menghibur. Hal ini membuat film ini mudah diterima oleh penonton, terutama anak muda. Dinda dan Taris mengaku bahwa film ini dibuat dengan melibatkan banyak ahli agar cerita dan produksinya lebih matang. Skenarionya digarap dengan bantuan dari komunitas film Cineclue.
"Kami sudah mulai produksi film dari September lalu. Kami syuting di sekolah sampai ke tempat pengolahan sampah," cerita Dinda.
Taris juga bercerita tentang arti judul Keranjang Bolong. Mereka ingin menyentil kondisi masyarakat.
"Masyarakat sebenernya udah tau kalau buang sampah itu nggak baik tapi kesadarannya itu masih 'bolong'. Masih banyak yang buang sampah sembarangan,” kata Taris.
Sumber logo: sma2smg.sch.id
Hydrovolt, Alat Recycle Limbah Domestik Jadi Energi Listrik dan Penetral Air Di Merauke, Papua Selatan, sering terjadi pemadaman listrik. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber pembangkit listrik. Selain itu, daerah tersebut juga berhadapan dengan permasalahan limbah domestik. Limbah ini mencemari lingkungan dan menjadi sumber penyakit.
Untuk mengatasi kedua masalah tersebut, sekelompok siswa SMA Negeri 3 Meraukemerancang proyek ilmiah bernama Hidrovolt. Hidrovolt adalah alat yang dapat menetralkan air limbah domestik dan mengubahnya menjadi energi listrik.
Ide dasar alat tersebut adalah memanfaatkan elektrolisis untuk menghasilkan energi listrik dari air limbah, yakni penguraian air menjadi gas hidrogen dan gas oksigen dengan menggunakan arus listrik.
Hidrovolt terdiri dari dua elektroda, yaitu elektroda anoda yang terbuat dari seng dan elektroda katoda yang terbuat dari dari tembaga. Kedua elektroda tersebut ditempatkan dalam sebuah boks volta yang diisi dengan air limbah.
Ketika arus listrik dialirkan melalui elektroda, air limbah akan terurai menjadi gas hidrogen dan gas oksigen. Gas hidrogen akan terkumpul di elektroda anoda, sedangkan gas oksigen akan terkumpul di elektroda katoda.
Kedua gas tersebut kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan energi listrik yang cukup untuk menyalakan lampu, peralatan elektronik, atau bahkan mengisi daya baterai.
Siswa-siswa SMA Negeri 3 Merauke telah melakukan uji coba Hidrovolt dengan hasil yang memuaskan. Berdasarkan pengujian, Hidrovolt dapat menghasilkan tegangan 12 volt dan daya 900 watt. Daya ini cukup untuk menyalakan lampu dan peralatan elektronik selama 12-18 jam.
Selain itu, Hidrovolt juga dapat menetralkan air limbah domestik menjadi air bersih yang layak digunakan untuk mencuci dan mandi. Namun, untuk penggunaan air limbah untuk dikonsumsi, masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
Untuk memudahkan pengoperasian Hidrovolt, para pelajar SMA Negeri 3 Merauke juga mengembangkan aplikasi bernama HOT. Aplikasi ini dapat digunakan untuk menyalakan dan mematikan Hidrovolt secara otomatis dengan menggunakan jaringan hotspot pada smartphone Android.
Sumber logo: sman3merauke.sch.id
Di era modern ini, banyak sekolah yang memiliki petugas kebersihan sendiri. Hal ini membuat para siswa merasa tidak perlu untuk menjaga kebersihan lingkungan dan menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada petugas kebersihan. Padahal menjaga kebersihan sekolah menjadi tanggung jawab seluruh warga sekolah.
Hal itu juga terjadi di SMAN 1 Ambon. Para siswa cenderung membuang sampah sembarangan dan mengakibatkan pemandangan sekolah menjadi tidak menarik. Berbagai aktivitas siswa di sekolah menyebabkan produksi sampah melimpah.
Akibatnya, kebersihan lingkungan sekolah menjadi menurun. Hal ini menandakan bahwa karakter siswa mengalami penurunan kualitas dan harus segera diperbaiki.
Dua siswa SMAN 1 Ambon, Angie Shanika Karien PS dan Catrin Sapulette, melihat permasalahan ini sebagai peluang untuk menerapkan budaya Kalesang Kintal dan Kewang di lingkungan sekolah.
Kalesang Kintal adalah budaya membersihkan pekarangan rumah oleh orang tua pada subuh. Budaya ini memiliki makna penting, yaitu sebagai bentuk syukur atas hari baru pemberian Tuhan, serta sebagai tanda bahwa seisi rumah telah siap beraktivitas.
Sementara, Kewang adalah pengawas lingkungan, baik laut, darat, maupun batas wilayah atau petuanan negeri. Kewang bertugas menjaga serta mengawasi kebersihan lingkungan sekitar.
Angie dan Catrin meyakini bahwa penerapan budaya Kalesang Kintal dan Kewang dapat menjadi upaya untuk membangun karakter siswa, yaitu karakter peduli, tanggung jawab, dan disiplin.
Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh Angie dan Catrin untuk menerapkan budaya Kalesang Kintal dan Kewang di SMAN 1 Ambon:
Mempelajari sistem penerapan Kalesang Kintal dan Kewang sesuai dengan budaya yang berlaku.
Mengadopsi budaya Kalesang Kintal dan Kewang ke dalam lingkungan sekolah (miniatur).
Untuk mempelajari sistem penerapan Kalesang Kintal dan Kewang, Angie dan Catrin melakukan wawancara dengan tokoh adat di Maluku. Mereka juga mempelajari berbagai sumber literatur tentang budaya Maluku.
Setelah mempelajari sistem penerapan Kalesang Kintal dan Kewang, Angie dan Catrin kemudian mengadopsinya ke dalam lingkungan sekolah. Berikut adalah beberapa program yang mereka laksanakan:
Sosialisasi kepada seluruh warga sekolah akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
Penetapan jadwal harian bagi setiap kelas untuk mengawasi ruangan yang dibersihkan oleh kelas lain.
Pembersihan kelas pada saat awal masuk sekolah dan pulang sekolah.
Program-program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
Penerapan budaya Kalesang Kintal dan Kewang di SMAN 1 Ambon telah membuahkan hasil yang positif. Para murid di sekolah tersebut menjadi lebih peduli akan kebersihan lingkungan. Mereka tidak lagi membuang sampah sembarangan dan lebih disiplin dalam menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
Berikut adalah beberapa contoh perubahan yang terlihat.Jumlah sampah yang berserakan di lingkungan sekolah berkurang drastis.
Lingkungan sekolah menjadi lebih bersih dan rapi.
Siswa-siswa menjadi lebih bertanggung jawab dalam menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
Sumber logo: sman1ambon.sch.id
Sebagai salah satu destinasi wisata populer di Indonesia, Bali memiliki banyak tempat makan dalam berbagai bentuk. Restoran di wilayah ini pun jumlahnya mencapai ribuan. Namun, di balik manfaat ekonomi yang diberikan, sektor ini turut berkontribusi pada pencemaran lingkungan.
Pasalnya, sebagian besar dari restoran itu masih menggunakan arang kayu sebagai sumber energi panas. Padahal, pembakaran arang menghasilkan emisi karbon yang menjadi salah satu pemicu perubahan iklim.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Buleleng menginisiasi program yang mewajibkan para petani setempat untuk mengembangkan sorgum. Namun, inisiatif tersebut menghasilkan limbah hingga 40 ton per hektare lahan sorgum. Total lahan yang ditanami sorgum di Kabupaten Buleleng mencapai 30 hektar. Limbah-limbah itu belum mendapatkan penanganan yang baik.
Kondisi itu mendorong dua pelajar dari SMA Negeri Bali Mandara, yakni Darma Yasa dan Karina Dewi, untuk menemukan solusi dengan kearifan lokal. Mereka mengusulkan ide untuk memanfaatkan limbah tanaman sorgum untuk dijadikan arang (biobriket). Biobriket akan digunakan sebagai pengganti arang konvensional pada restoran-restoran di Bali, sementara abunya akan digunakan kembali sebagai pupuk.
Pembuatan biobriket dilakukan dengan metode pirolisis menggunakan tabung pembakaran sekaligus kondensasi. Proses ini menghasilkan produk biobriket ramah lingkungan karena tidak menghasilkan asap.
Biobriket memiliki kalori setara dengan arang konvensional sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang efektif.
Untuk mewujudkan ide tersebut, Darma dan Karina menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain Kelompok Tani Ternak Kerthi Winangun sebagai pemasok bahan baku biobriket, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) untuk melakukan eksperimen, serta restoran barbeku, hotel, dan vila untuk memperluas pasar biobriket.
Selain itu, kedua pelajar itu juga bersinergi dengan Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekar Sari dalam pembuatan briket dan hasil olahan sorgum lainnya.
Selain itu, program ini juga meningkatkan interaksi antarsiswa. Siswa yang tadinya saling acuh tak acuh, kini mulai saling bertegur sapa.
Sumber logo: smanbalimandara.sch.id
Di tengah pesatnya pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia, kebutuhan akan stasiun pengisian daya (charging station) juga semakin meningkat. Namun, pembangunan fasilitas ini masih menghadapi tantangan, salah satunya adalah ketersediaan energi listrik yang berkelanjutan.
Dua siswa SMA Negeri 5 Yogyakarta, Nadia Mazaya Nur Fauzia dan Fathan Kamal Idham, memiliki ide untuk mengatasi tantangan tersebut. Mereka mengusulkan konsep Eco Charging Station yang memanfaatkan limbah makanan, kotoran ternak, dan ampas tahu untuk menghasilkan listrik.
Ide Eco Charging Station muncul dari pengamatan terhadap banyaknya pabrik tahu, tempe, dan peternakan di sekitar sekolah mereka. Limbah dari aktivitas tersebut, seperti limbah makanan, kotoran ternak, dan ampas tahu, hanya sedikit yang diolah, sebagian besar dibuang. Padahal, untuk membuangnya, pelaku usaha harus mengeluarkan biaya pembuangan.
Proyek tersebut menerapkan konsep daur ulang karbon. Limbah makanan akan diolah menjadi pakan ternak. Sementara, kotoran ternak akan diolah kembali menjadi biogas untuk digunakan sebagai energi penggerak generator penghasil listrik. Listrik yang dihasilkan digunakan untuk mengisi ulang daya baterai kendaraan listrik.
Untuk mewujudkan ide ini, Nadia dan Fathan akan bekerja sama dengan Karang Taruna Tunas Muda Desa Sendang Sari untuk pengisian substrat pada instalasi biogas, masyarakat sekitar Padukuhan Nganep untuk budi daya maggot, serta LIPI untuk penyedia zeofilter.
Sumber logo: id.wikipedia.org
Dua siswa SMA Negeri Seribu Bukit, Gayo Lues, Aceh, menciptakan kompor berbahan bakar air dan oli bekas untuk penyulingan minyak sereh wangi. Keduanya adalah Cascya Nadifa dan Muhammad Saifullah
Inovasi itu lahir dari keprihatinan guru fisika mereka, Muhammad Syamsul, yang sering melihat petani memakai kayu bakar untuk menyuling minyak sereh. Padahal, metode ini memicu terjadinya penebangan hutan dan produksi gas karbon.
Pembuatan kompor tersebut memakan riset dan percobaan selama berbulan-bulan. Cascya dan Saifullah juga harus terjun langsung ke ladang sereh untuk mempelajari penyulingan minyak sereh.
Kompor berbahan bakar air dan oli bekas ciptaan mereka memiliki beberapa keunggulan.
Pertama, lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan gas karbon.
Kedua, lebih hemat biaya karena tidak perlu membeli kayu bakar.
Ketiga, lebih mudah digunakan karena tidak perlu dijaga terus-menerus.
Inovasi Cascya dan Saifullah telah diadopsi oleh para petani di Gayo Lues. Dengan menggunakan kompor tersebut, mereka dapat mengurangi penebangan hutan dan biaya produksi.
Sumber logo: facebook/SMA-NEGERI-SERIBU-BUKIT-GAYO-LUES