Loading
Nah, saat ini ada tantangan besar di industri hulu migas Indonesia.
Ada banyak faktor yang membuat produksi migas menurun. Semua itu tak lepas dari kondisi industri hulu migas nasional saat ini.
Produksi minyak bumi di Indonesia hanya 831.000 barrel per hari, jauh dari kebutuhan dalam negeri yang mencapai 1,6 juta barrel per hari. Artinya, Indonesia di bawah bayang-bayang krisis energi migas.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah mengimpor minyak. Bahkan, sejak tahun 2004, republik ini pun sudah menyandang status sebagai net importer minyak.
Sumber: SKK Migas, 2016
Keadaan tersebut semakin bertambah parah karena dari tahun ke tahun kebutuhan minyak dalam negeri semakin meningkat.
Sebaliknya produksi minyak domestik malah menurun.
Sumber: SKK Migas, 2016
Diproyeksikan ke depan, kebutuhan minyak bumi pun akan semakin bertambah.
Pada 2025, kebutuhan minyak Indonesia mencapai 1,93 juta barrel per hari. Lalu melonjak ke angka 3,86 juta barrel per hari pada 2050.
Sumber: Dewan Energi Nasional, 2016
Bagaimana dengan gas?
Saat ini, Indonesia belum menjadi negara net importer gas karena pasokan gas dalam negeri masih lebih besar daripada konsumsi. Namun, tren pemakaian gas meningkat dari tahun ke tahun.
Sumber: SKK Migas, 2016
Diproyeksikan, konsumsi gas domestik semakin meningkat di masa depan.
Pada 2050, pemakaian gas di Indonesia rata-rata mencapai 26 miliar MMSCFD. Angka itu meningkat hampir tiga kali lipat dibanding pada 2025 yang sebesar 9,5 miliar MMSCFD.
Sumber: Dewan Energi Nasional, 2016
Sebanyak 72 persen produksi minyak nasional berasal dari lapangan-lapangan tua yang telah berproduksi lebih dari 30 tahun.
Padahal, laju penurunan produksi alami atau natural production decline lapangan migas Indonesia sangat tinggi.
Untuk minyak bumi, rata-rata natural production decline-nya mencapai 29 persen per tahun dan gas 18 persen per tahun.
Butuh biaya lebih tinggi untuk mempertahankan level produksi migas. Nilai investasi yang ada saat ini pun belum cukup untuk mempertahankan level produksi.
Sebanyak 64 persen pipa penyalur sudah terpasang sebelum tahun 1980.
Adapun 57 persen anjungan lepas pantai sudah terpasang sebelum tahun 1980.
Sumber: SKK Migas, 2016
Hingga saat ini, pencarian cadangan migas melalui kegiatan eksplorasi belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Akibatnya, cadangan migas Indonesia semakin menipis.
Hingga saat ini, pencarian cadangan migas melalui kegiatan eksplorasi belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Akibatnya, cadangan migas Indonesia semakin menipis.
Pasca-penemuan minyak di Lapangan Banyu Urip, Bojonegoro, pada 2001, yang membukukan cadangan 450 juta barrel, belum ada lagi temuan cadangan yang besar.
Saat ini, nilai ketergantian cadangan atau reserve replacement ratio (RRR) migas Indonesia belum ideal. Angka RRR republik ini pada 2016 hanya 64,4 persen. (SKK Migas, 2016)
Nilai ideal RRR adalah 100 persen. Artinya, bila mengambil 1 barrel minyak mentah dari perut bumi, langkah tersebut mesti diimbangi dengan upaya menemukan cadangan baru dengan volume yang sama.
Ini merupakan pemandangan biasa yang sehari-hari terlihat di jalanan Jakarta.
Dari matahari terbit sampai terbenam hingga berganti bulan,
Ibu Kota tak pernah surut dari hilir mudik kendaraan.
Namun, kondisi seperti itu tak lagi identik dengan Ibu Kota saja.
Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Palembang, Makassar, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia juga mengalami hal serupa.
Keadaan tersebut selaras dengan jumlah kendaraan di Indonesia yang selalu naik dari tahun ke tahun.
Pada 2013, jumlah kendaraan di Indonesia sebesar 104,1 juta unit lalu naik menjadi 114,2 juta unit pada 2014 dan setahun kemudian naik lagi mencapai 122 juta unit.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016
Tercatat sepeda motor menjadi kendaraan dengan laju peningkatan paling tajam. Contoh pada 2015, jumlah kendaraan roda dua naik sekitar 7 juta unit menjadi 99,6 juta unit dari tahun sebelumnya 92,9 juta unit.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016
Dengan asumsi rata-rata panjang sepeda motor 2 meter, bila dikalkulasi, maka pertambahan itu menghasilkan panjang 14 juta meter.
Angka itu setara dengan
94 kali jarak Jakarta-Bandung
(150 kilometer).
Penambahan volume kendaraan yang sangat tinggi di Indonesia tak lepas dari topangan pertumbuhan ekonomi dan industri yang terus berkembang ke arah positif.
Pada 2016, angka pertumbuhan ekonomi negeri ini menguat ke level 5 persen dari tahun sebelumnya 4,9 persen. Sumber: Bank Indonesia, 2016
Sementara itu, pertumbuhan produksi industri manufaktur sedang dan besar tumbuh 4 persen pada 2016.
Adapun angka pertumbuhan produksi industri manufaktur kecil pada 2016 sebesar 5,78 persen atau naik dari tahun sebelumnya 5,71 persen. Sumber: Badan Pusat Statistik, 2017
Namun, tahukah Anda, di balik angka-angka fantastis jumlah kendaraan bermotor dan pertumbuhan ekonomi serta industri di Indonesia, semua itu membutuhkan ENERGI .
Saat ini, minyak dan gas (migas) masih menjadi energi utama.
Angka konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia mencapai 72,6 juta ton pada 2016, sedangkan gas sebesar 33,9 juta ton. Sumber: BP Statistical Review, 2017
Lalu, apa yang terjadi bila Indonesia mengalami krisis energi migas dan pasokan BBM mengalami kelangkaan?
Bisa jadi semua aktivitas di negeri ini terganggu.
Antrean panjang di jalanan menjadi pindah ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Tak cuma itu, pembangkit listrik pun dapat sulit beroperasi karena kekurangan pasokan bahan bakar.
Terlebih lagi, mayoritas pembangkit listrik di Indonesia masih mengandalkan bahan bakar migas.
Ada banyak faktor yang dapat membuat Indonesia kekurangan pasokan migas.
Selain menurunnya produksi migas nasional di industri hulu migas,
faktor lain bisa datang dari kelancaran distribusi di industri hilir migas.
Adapun aktivitas di industri hulu migas meliputi eksplorasi dan produksi migas. Eksplorasi adalah aktivitas studi geologi, geofisika, survei seismik, dan pengeboran untuk menemukan cadangan migas baru.
Sementara itu, kegiatan di industri hilir terdiri dari pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan bahan bakar.
Terdapat sejumlah penyebab yang membuat industri hulu migas Tanah Air mengalami keadaan seperti itu. Salah satunya adalah penurunan harga minyak dalam tiga tahun terakhir.
Banyak investor migas juga menunda kegiatan investasi, termasuk di Indonesia. Hal itu dilakukan untuk menekan pengeluaran dan menghindari kerugian.
Nah, dalam menghadapi tantangan seperti itu, sejumlah negara berupaya memperbaiki regulasi, utamanya sektor fiskal, termasuk Indonesia.
Pemerintah pun telah menyederhanakan perizinan, dan menerapkan sistem gross split, yaitu bentuk kerja sama baru pengelolaan industri hulu migas yang lebih menguntungkan.
Langkah strategis itu diharapkan mampu merangsang minat investor. Pasalnya, investasi pada hulu migas amat dibutuhkan untuk menjaga ketersediaan energi nasional.
Saat ini saja, cadangan minyak bumi Indonesia hanya cukup untuk 11 tahun ke depan, sedangkan cadangan gas akan habis dalam waktu 40 tahun lagi.
Sumber: SKK Migas, 2016
Migas masih mendominasi pasokan energi primer Indonesia sampai beberapa dekade mendatang. Faktanya, kini 69 persen energi primer Indonesia dipasok oleh migas. Porsi itu akan menjadi 47 persen pada 2025 dan 44 persen pada 2050.
Sumber: Dewan Energi Nasional, 2016
Pertama, efisiensi proses kegiatan dan optimalisasi eksplorasi
Efisiensi yang dimaksud adalah memangkas proses perizinan di industri ini sehingga mempercepat kinerja pencarian cadangan migas baru.
Optimalisasi eksplorasi dilakukan untuk mencari cadangan migas baru. Caranya dengan memperdalam target lapisan batuan serta mengeksplorasi wilayah terpencil (remote) dan perairan laut dalam.
Pemerintah dan SKK Migas juga terus berupaya melakukan studi bawah permukaan bumi, untuk mendapatkan data geologi yang lebih komprehensif.
Perlu dukungan semua pihak agar proses pencarian cadangan migas baru dapat berjalan dan mendapatkan hasil yang optimal.
Industri hulu migas adalah proyek strategis nasional untuk memenuhi kebutuhan energi dan menambah pendapatan negara.
Kesadaran dan dukungan masyarakat serta pihak terkait amat diperlukan agar kita bisa bekerja sama lebih cepat dan efisien untuk menghadapi ancaman krisis migas.
Kedua, penerapan teknologi terkini untuk efisiensi produksi
Efisiensi dalam proses produksi dilakukan dengan menerapkan teknologi terkini yang tepat guna dan paling sesuai dengan karakteristik lapisan atau reservoir (cadangan migas) di masing-masing lapangan.
Teknologi tepat guna artinya penerapan teknologi yang tepat sasaran untuk meningkatkan produksi. Misalnya peningkatan produksi dan cadangan melalui optimalisasi produksi dan penerapan teknologi enhanced oil recovery (EOR).
Meskipun begitu, target produksi harus ditetapkan dengan bijaksana atau sesuai dengan kemampuan masing-masing reservoir. Tidak memaksakan pengurasan cadangan berlebihan agar reservoir dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu lebih panjang.
Dari sisi konsumsi, penggunaan bahan bakar berbasis migas harus dihemat. Terlebih lagi, gap antara produksi dan konsumsi minyak semakin lebar dari tahun ke tahun.
Ketiga, diversifikasi energi
Diversifikasi energi adalah upaya penganekaragaman energi. Konversi minyak ke gas adalah salah satunya.
Pemerintah beserta semua pihak yang terlibat pun harus memberikan dukungan dan komitmennya agar program konversi BBM ke BBG bisa berlangsung sukses.
Diversifikasi energi dapat pula dilakukan dengan mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT).