Jengah melihat foto-foto di atas?
Atau malah terbiasa, merasa biasa-biasa saja, dan berjarak dengan semua peristiwa itu?
Beragam peristiwa seperti potret-potret tersebut bertebaran di sekitar kita.
Sebut saja misalnya, tawuran. Hanya karena masalah sepele, pelajar dari dua sekolah atau warga bersebelahan kampung bisa berkelahi di jalanan.
Juga urusan keruwetan di jalan raya. Menerabas rambu dan lampu lalu lintas justru jadi kebiasaan dan kelaziman. Mengikuti aturan lalu lintas malah terasa aneh?
Belum lagi pungutan liar di mana-mana, dari urusan uang receh sampai yang jadi kasus korupsi besar.
Satu lagi, kebiasaan "nyampah"! Banyak orang terganggu setiap kali melintasi tumpukan sampah tetapi merasa biasa saja melempar tisu bekas atau botol plastik dari balik jendela mobil. Sudah begitu, belanja pun nyaman memakai kantong plastik sekali pakai.
Jangan-jangan, saya dan Anda juga salah satu di antara mereka. Bisa jadi, kita jadi bagian dan punya andil dari semua fenomena itu...
Nah, apakah kita mau selamanya begitu?
Itukah wajah Indonesia yang kita idamkan?
Tak inginkah pemandangan itu berubah?
Maukah kita menjadi bagian dari perubahan?
Perubahan butuh keterlibatan kita semua.
Siap membuat perubahan?
Cek kesiapan Anda di sini
Pilihlah jawaban paling tepat menurut Anda untuk setiap pernyataan yang diberikan!
(Klik “Benar” atau “Salah”)
Perubahan adalah semangat yang mendorong kinerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. “Revolusi Mental” sebutannya.
Satuan Tugas Revolusi Mental pun telah dibentuk. Dari pejabat negara, pegiat masyarakat sipil, akademisi, hingga tokoh keagamaan, bahu-membahu di dalamnya.
Mulai 2016, lima program strategis dijalankan.
Kenapa dan buat apa?
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), Republik ini diduga menderita kerugian Rp 31,077 triliun akibat tindakan pidana korupsi sepanjang 2015.
Adapun Lembaga Transparency International (TI) menyatakan, nilai indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2015 sebesar 36, yang karenanya menempati peringkat 88 dari 168 negara terkait penanganan korupsi.
Memberantas korupsi memang tak semudah membalik telapak tangan. Terlebih lagi ketika sebagian praktiknya sudah dianggap sebagai hal biasa di masyarakat.
Tak ada cara lain, pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri sendiri. Misalnya, tak lagi membiasakan diri memberi "uang damai" ketika ditilang polisi atau "salam tempel" setiap mengurus dokumen.
Sumber :
- ICW, 2016
- Kompas.com, Rabu (27/1/2016)
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyatakan, dalam sehari timbunan sampah di Indonesia mencapai 175.000 ton atau setara 64 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, tantangan terbesar pengelolaan sampah ada pada penanganan sampah plastik.
Menurut hasil riset Greeneration, satu orang Indonesia rata-rata menggunakan dan menghasilkan sampah 700 kantong plastik per tahun.
Adapun Jenna R Jambeck dan kawan-kawan—dalam publikasi riset di sciencemag.org pada Kamis (12/2/2015)—mendapati Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.
Menjaga lingkungan dari sampah plastik tak terurai hanya dapat dilakukan bila industri juga menghadirkan produk ramah lingkungan, selain masyarakat semakin sadar meminimalkan dan memilah sampah.
Sumber :
- Kompas.com, Rabu (23/9/2015)
- Kompas.com, Rabu (27/1/2016)
- Kompas.com, Rabu (23/9/2015)
Melihat tingkat ketertiban suatu bangsa tidaklah sulit. Kebiasaan masyarakat untuk mengantre dapat menjadi salah satu indikatornya.
Budaya antre juga punya kaitan dengan ruwet atau tidaknya lalu lintas. Tidak hanya menjadikan lalu lintas lancar, kesabaran mengikuti "antrean" di jalan dapat pula meminimalkan kecelakaan.
Kepolisian menengarai, sebagian besar kecelakaan di jalan raya disebabkan oleh kesalahan dan atau kelalaian pengendara
Data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri menyebutkan, pada 2014 terjadi 85.756 kecelakaan yang merenggut nyawa 26.623 orang. Lalu, selama Januari-Juni 2016, terjadi 51.917 kecelakaan dengan 10.881 korban jiwa, merujuk data yang sama.
Diam-diam, jalanan sudah menjadi "pembunuh massal", setiap hari.
Tak mau ikut jadi korban kecelakaan di jalan? Mulai saja dari tertib berlalu lintas, lalu ajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Bila semua orang melakukannya, tertib lalu lintas tak akan lagi sebatas jargon.
Sumber :
- Kompas.com, Kamis (17/3/2016)
- Korlantas Polri
Terpaan krisis ekonomi—pada 1997-1998 misalnya—membuktikan, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) justru paling tangguh menjaga perekonomian negara. Koperasi dan prinsip gotong-royong yang menjadi ruh-nya, menjadi bagiannya.
Suatu negara diyakini akan maju perekonomiannya, bila jumlah pengusaha juga makin banyak. Namun, nyatanya 4,125 juta orang saja atau setara 1,65 persen warga Indonesia menjadi pengusaha per 2014.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo pun menargetkan ada tambahan minimal 5,8 juta pengusaha untuk mengejar proporsi ideal 2 persen pengusaha di Indonesia.
UMKM dan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat, merupakan pintu masuk menuju pewujudan target tersebut.
Kabar baiknya, UMKM terus tumbuh positif, setidaknya pada kurun 1999 sampai 2012. Pada 2005, UMKM bahkan tercatat tumbuh 5 persen. Sesudah tahun itu, UMKM tumbuh rata-rata 2 persen per tahun.
Pada 2010, misalnya, UMKM tumbuh 2,01 persen. Setahun kemudian, pertumbuhannya naik menjadi 2,57 persen, meski pada 2012 sedikit melambat menjadi 2,41 persen.
Bila setiap orang turun tangan untuk saling memberdayakan dan bergotong royong mengembangkan ekonomi kerakyatan, target pertumbuhan UMKM dan kemandirian perekonomian seharusnya menjadi hal yang niscaya.
Sumber :
- Kompas.com, Rabu (26/9/2016) BPS
- Perkembangan UMKM Periode 1997-2012
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan ragam bentangan alam yang luar biasa kaya. Memiliki tak kurang dari 13.487 pulau, Indonesia "direkatkan" oleh lautan dan kekayaan bahari di dalamnya.
Dari bentang alam ini, ada begitu banyak kebudayaan tumbuh dan berkembang.
Tak kurang dari 1.300 suku tercatat tinggal di Nusantara. Sensus mendapati, 79,45 persen penduduk Indonesia masih menggunakan bahasa daerah untuk percakapan harian.
Soal keyakinan, Indonesia mengakui lima agama resmi, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Selain itu, masih ada pula bebeberapa kepercayaan yang juga dilindungi keberadaannya, seperti Konghucu.
Tersebar di 34 provinsi—hingga 2016—segala keragaman itu semestinya menjadi kekuatan yang memajukan bangsa dan negara. Syaratnya, toleransi dan keberagaman terjaga dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sumber :
- Kompas.com, Rabu (6/6/2012)
- Center of Strategic and International Studies, 2012