Alat-alat disiapkan untuk mengalirkan migas, dari sumur ke daratan, kemudian diproses masuk ke tangki pengumpul.

Di tengah semua proses itu, ada risiko kegagalan dan otomatis semua investasi hangus.

Begitu pula prinsip cost recovery dalam skema kontrak bagi hasil (production sharing contract atau PSC) kegiatan hulu migas di Indonesia.

Mekanisme cost recovery memungkinkan pemerintah menjalankan kegiatan hulu migas dan memindahkan risiko kepada investor.

PSC dan cost recovery tak hanya diterapkan di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti:

Meski tidak menggunakan PSC dan cost recovery, komponen biaya pun pasti tetap ada dalam skema lain kontrak industri hulu migas.

Tentu, mekanisme pembiayaan dan konsekuensinya juga berbeda.

Di Amerika Serikat yang menerapkan skema konsesi, misalnya, biaya menjadi tanggungan perusahaan migas. Di sini, investor sekaligus berlaku sebagai pemilik. Adapun negara hanya menerima royalti dan pajak.

Sebaliknya,
PSC dan cost recovery di Indonesia memastikan sumber daya dan pengolahan migas tetap dimiliki negara.

Pemerintah menugasi SKK Migas sebagai pengawas proses eksplorasi dan produksi migas, termasuk mengawasi keluar masuk anggaran dari investor.

Cost recovery bisa digelembungkan?

Isu penggelembungan cost recovery ini juga sering jadi polemik lain di media massa. Bagaimanapun, di mana ada gula di situ pasti ada semut.

Lalu, kenapa cost recovery tetap tinggi sekalipun angka produksi turun, bahkan saat harga minyak anjlok?

Migas adalah industri ekstraktif dan sumber energi tak terbarukan. Biaya eksplorasi dan produksi tak serta-merta turun ketika cadangan terbukti hanya sedikit atau bahkan sudah dikuras.

Sama-sama ladang baru pun, jumlah cadangan terbuktinya bisa beda pula, walau proses eksplorasi dan produksinya sama.

Belum lagi, kapasitas produksi lapangan minyak yang sudah tua cenderung makin berkurang.

Meski demikian, pengeluaran justru bisa lebih tinggi daripada lapangan minyak baru, untuk biaya peralatan dan perawatannya.

Tak bisa dimungkiri pula, cadangan terbukti migas Indonesia juga terus berkurang.

Investasi ke sektor hulu migas makin dibutuhkan untuk mencari sumber cadangan baru.

Terlebih lagi, tren eksplorasi makin mengarah ke kawasan timur Indonesia dan di lautan dalam, yang tentu saja butuh teknologi tinggi dan biaya lebih besar.

<i>cost recovery</i> Simalakama Migas Indonesia

Frasa “cost recovery” belakangan ini mencuat di berbagai pemberitaan.

Sebelumnya, gambar peta Indonesia dengan tebaran bendera asing sempat viral pula di media sosial.

Kedua isu tersebut sama-sama terkait investasi di industri hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia serta mengundang kontroversi.

Ada apa sih?

Migas masih akan menjadi sumber energi utama Indonesia pada saat ini dan mendatang.

Namun, energi ini tak serta-merta muncul, apalagi langsung dapat dimanfaatkan.

Pencarian hingga produksinya butuh biaya sangat besar.

Indonesia melibatkan investor untuk upaya itu. Mereka menyediakan "talangan" dana dan teknologi.

Saat sumber migas sudah berproduksi, pemerintah mengembalikan biaya investasi tersebut, diambil dari penjualan hasil produksi. Penggantian biaya ini yang dikenal secara luas sebagai cost recovery.

Nah, di sinilah polemik sering muncul.

Haruskah cost recovery ada?

Fakta,

cadangan migas tersembunyi di ceruk-ceruk terdalam bumi kita.

Butuh waktu lama dan tenaga luar biasa untuk mencari serta mengambil cadangan migas (eksplorasi) lalu mengangkatnya ke permukaan (produksi).

Beragam penelitian, mulai dari studi geologi, studi geofisika, hingga survei seismik, perlu dilakukan untuk memastikan keberadaan cadangan baru migas. 

Jika hasil eksplorasi positif dan bernilai ekonomis, barulah migas dapat diangkat ke permukaan.

Di sini, kehadiran investor meminimalkan risiko kerugian negara.

Sebagai gambaran,
hampir 100 perusahaan migas kehilangan 3,99 miliar dollar AS, setara Rp 54 triliun, pada kurun 2002 sampai semester I/2016.

(Sumber: SKK Migas)

Eksplorasi mereka tak mendapati sumber cadangan terbukti migas yang bernilai ekonomis.

Bayangkan bila kerugian itu harus ditanggung oleh negara...

Angka tersebut hampir sama
dengan total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta pada 2016 yang bernilai Rp 62, 9 triliun.

(Sumber: Kompas.com, 2016)

Nominal itu bahkan hampir tujuh kali lipat APBD Kota Surabaya, kelipatan 10 APBD Kota Medan, dan lebih dari 12 kali lipat APBD Kota Makassar!

Siapkah kita?

Konsep cost recovery sebenarnya tidak hanya ditemukan pada industri hulu migas.

Hanya saja, istilah dan penerapannya yang berbeda.

Setiap bisnis yang dibangun tentu perlu modal.

Ambil contoh, kedai kopi.

Pemilik butuh investor untuk membangun kedai dan membeli peralatan.

Saat kedai ramai pengunjung, keuntungan didapat.

Dari situlah modal investor bisa dikembalikan. Pemilik kedai pun dapat penghasilan.

Untuk menghadang “semut-semut” ini, berbagai cara tentu dilakukan.

SKK Migas pun tak lepas dari pengawasan berbagai lembaga.

Naik turun harga minyak juga mempengaruhi nominal cost recovery.

Selain untuk biaya produksi, alokasi cost recovery mencakup pula komponen depresiasi.

Sebagai catatan tambahan, blok migas di Indonesia kebanyakan sudah beroperasi selama 30-50 tahun.

Dana cost recovery pun sejatinya tak hanya dinikmati perusahaan migas. Lewat pemakaian barang dan jasa dalam negeri, dana ini turut dinikmati beragam perusahaan pemasok, sekaligus mendorong perekonomian nasional.

Untuk Indonesia, PSC dan cost recovery merupakan solusi untuk menjaga produksi migas sekaligus mendapatkan cadangan baru itu.

Referensi

  • Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Jakarta: PT Gramedia Widisarana Indonesia
  • Pudyantoro, A. Rinto. 2012. A to Z Bisnis Hulu Migas. Jakarta Selatan: Petromindo
  • Pudyantoro, A. Rinto. 2015. Dialog: Tanya-Jawab Migas. Yogyakarta:UP 45 Press
  • Data SKK Migas, 2016

Disponsori oleh: